Era Baru Industri Pertahanan

Kunjungan Presiden Joko Widodo ke PT PAL dan PT Pindad membuka mata publik tentang komitmen pemerintah untuk pengembangan industri pertahanan nasional.

Untuk PT Pindad, misalnya, Presiden yang juga Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan mengatakan bahwa negara akan mengalokasikan Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp 700 miliar. PMN yang disampaikan Presiden tentu angin segar bagi industri pertahanan nasional. Ini bentuk kebijakan yang menunjukkan keberpihakan pemerintah pada pengembangan industri strategis.

Pada awalnya industri pertahanan di dunia tumbuh sebagai government-created, protected and regulated industry, yakni industri yang diciptakan, diproteksi, dan diregulasi oleh pemerintah. Ciri-ciri umumnya tampak dari pasar yang bersifat monopsonistik, yakni pemerintah menjadi pembeli utama atau konsumen terbesar industri pertahanan suatu negara.

Secara universal, dimulai dari Eropa, sejak akhir 1980-an gencar desakan untuk membuka keran investasi bagi industri pertahanan terkait maraknya iklim keterbukaan, demokratisasi, dan desakan pembayar pajak untuk alokasi dana pemerintah bagi sektor publik lainnya.

Hasilnya bisa kita lihat dari kemunculan raksasa industri pertahanan dunia semacam BAE dari Inggris. Industri pertahanan di Amerika juga membuka diri masuknya pemodal lain untuk memperkuat lini bisnis dan memperluas pasar. Tren paling akhir adalah maraknya pelaku industri pertahanan dunia masuk ke Afrika dan Asia dengan melakukan aksi merger dan akuisisi.

Negara-negara yang industri pertahanannya telah mengalami ”metamorfosa investasi” umumnya melewati perjalanan panjang dan turbulensi yang tak mudah. Kita juga tidak bisa memberikan penilaian begitu saja bahwa model mereka yang paling tepat. Ada karakteristik di berbagai region dan negara yang melahirkan wajah investasi dan tren pertumbuhan usaha industri pertahanan yang berbeda. Di Indonesia, misalnya, hingga sekarang industri pertahanan bagian pokok atau strategis dari upaya pemerintah menegakkan kedaulatan dan keamanan negara.

Dewasa ini industri pertahanan nasional masih berpusar pada tahapan kemampuan produksi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Peningkatan capacity building, penguasaan teknologi, hingga konsistensi mutu dan layanan kepada pengguna akhir di tiap-tiap matra masih jadi pekerjaan rumah utama. Wajar jika pemikiran yang berkembang masih linear, kepemilikan badan usaha yang memproduksi alat peralatan pertahanan keamanan (alpalhankam) oleh pemerintah merupakan keharusan. Demikian pula dengan investasi dan strategi pertumbuhan usahanya.

Walhasil, diskursus yang ada lebih bermuara pada opsi untuk membeli dari luar negeri atau memproduksi sendiri alpalhankam Indonesia. Itu sebabnya muncul desakan untuk adanya alih teknologi dan kewajiban offset bagi pembelian alpalhankam dari luar negeri sesuai amanat UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan.

Dewasa ini tren dari industri pertahanan nasional menggandeng mitra strategis dari pelaku industri pertahanan global merupakan peneguhan spirit alih teknologi. Tren ini patut kita sambut baik karena implikasinya pada penghematan devisa, penciptaan lapangan kerja, maupun perwujudan amanah kemandirian industri pertahanan nasional.

Perusahaan induk

Menyimak kunjungan Presiden Joko Widodo ke PT Pindad, ada atensi strategis yang tersirat dari Presiden, yaitu menjadikan industri pertahanan mandiri dan bersaing di pasar luar negeri. Maknanya, membesarkan industri pertahanan nasional dengan jaringan birokrasi yang lebih sederhana dan praktis, tetapisolid dan tidak membebani regulator korporasi (Kementerian BUMN). Apalagi industri pertahanan punya spesifikasi yang homogen dan melibatkan pemangku kepentingan yang luas. Konkretnya, kita bisa merespons atensi strategis Presiden dengan penataan manajemen sekaligus membangun perusahaan induk (holding company) industri pertahanan nasional.

Diskusi pembentukan perusahaan induk di sektor industri lain bukan hal baru. Inpres No 5/2008 sudah mencanangkan perampingan atau upaya membuat jumlah dan skala usaha BUMN dalam komposisi yang tepat untuk industri semen, pupuk, perkebunan dan perbankan. Salah satu opsi perampingan—sesuai dengan cetak biru yang disusun pemerintah—adalah membentuk perusahaan induk. Sejatinya, pembentukan holding juga bisa jadi opsi pengembangan industri pertahanan, yang dapat berperan dalam pengelolaan dana pemerintah, skema investasi hingga strategi pertumbuhan usaha antar-industri pertahanan agar bisa lebih terintegrasi.

Peran Kementerian BUMN praktis hanya di tataran kebijakan yang bersifat makro, seperti perencanaan dan pengawasan korporasi. Adapun holding memainkan peranan strategis, yaitu perencanaan perusahaan secara keseluruhan, pengembangan usaha, pengelolaan keuangan, pengendalian anak perusahaan, menentukan arah pengembangan produk dan penelitian, serta sinergi pemasaran, khususnya untuk pasar luar negeri.

Indonesia dulu pernah memiliki holding BUMN pertahanan, PT Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS). Pemerintah membubarkan BPIS pada 2002 karena tidak efisien dan lebih kental nuansa birokratis daripada korporasi.  Sudah jamak diketahui para pelaku industri modern, suatu perusahaan induk akan kehilangan maknanya jika tak mampu memberikan benefit efisiensi dan integrasi aktivitas produksi serta keleluasaan pengambilan keputusan kepada anak perusahaan.

Kita serius menginginkan industri pertahanan nasional masa kini dan mendatang ditandai dengan era baru skala manajemen yang dikemas dalam perusahaan induk. Industri pertahanan sudah saatnya memasuki era baru dengan perusahaan induknya untuk menghapuskan inefisiensi dan disharmoni antarkomunitas industri pertahanan. Walhasil, negara akan mudah dan praktis dalam membuat perencanaan strategis, sekaligus memberikan benefitas  bagi sektor ekonomi dan pertahanan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.