“Si Vis Pacem Para Bellum”
Pesan ini ditulis oleh Filsuf Militer Romawi Publius Flavius Vegetius Renatus yang intinya jika mendambakan perdamaian bersiaplah menghadapi perang. Bagi bangsa Indonesia, hal itu tersirat dalam Pembukaan UUD-1945 yang alinea pertamanya mengamanatkan, kewajiban negara melindungi bangsa dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan.
Sejarah perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta, direbut dengan darah, keringat, dan air mata. Melalui perjuangan fisik bangsa Indonesia menghadapi kekuatan imperialis dan kolonialis. Dari perjuangan itu, pada 5 Oktober 1945 dibentuk Tentara Nasional Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dengan menjalankan usaha Pertahanan Rakyat Semesta secara menyeluruh di wilayah Nasional.
Pengabdian TNI sejak era Perang Gerilya tidak terlepas dari bantuan rakyat baik secara langsung dengan ikut berjuang secara fisik maupun menyumbangkan harta miliknya untuk membantu kelancaran operasi logistik di lapangan. Itulah yang membuat bangsa Indonesia mempunyai kemampuan untuk menjalankan perang berlarut untuk merebut kemerdekaan dan sekaligus untuk mempertahankan kemerdekaan sampai saat ini. Maknanya, bangsa Indonesia tidak mengenal menyerah dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dan itulah yang menjadi prinsip perjuangan TNI dari masa ke masa.
Setiap bangsa yang ingin menjamin kemerdekaan dan kedaulatan, wajib memberikan perhatian khusus kepada sektor pertahanan negara dan bersedia melakukan segala usaha untuk mewujudkannya. Fakta membuktikan bahwa bangsa yang paling sedikit mengalami gangguan kedaulatan adalah bangsa yang mampu mengelola pertahanan negara secara efektif.
Indonesia, sebagai negara yang cinta damai tetapi jauh lebih cinta kemerdekaan dan kedaulatan, harus mampu dan siap melakukan usaha Pertahanan Negara yang Modern dan Efektif. Oleh karena itu, TNI dengan didukung oleh rakyat, akan menjadi garda terdepan menghadapi segala jenis ancaman yang hadir di Indonesia.
TNI Terus Bersama Rakyat
Presiden pertama RI, Soekarno pada amanat Hari Angkatan Perang RI 1950 menegaskan bahwa, “Angkatan perang kita tidak bisa dipisahkan kedudukannya dari rakyat Indonesia, dalam pangkuan mana ia dilahirkan dan dalam pangkuan mana ia menjadi besar”.
Panglima Besar Jenderal Soedirman setelah mengeluarkan perintah kilat pada 1948 menggariskan, strategi militer beralih kepada Perang Gerilya. Artinya, TNI harus menyatu dengan rakyat yang berasal dari desa-desa, gunung-gunung dan pantai serta hutan. Di sanalah menjadi tempat berlindung dan sekaligus pangkal TNI mempersiapkan penyerangan.
Desa dikenal oleh TNI sebagai rumah besar tempat berlindung dan memperoleh kebutuhan logistik. Doktrin itu berlaku hingga saat ini. TNI harus memikirkan strategi untuk terus menjadikan desa sebagai lumbung bahan pokok dengan memberdayakan Komando Teritorial guna mempersiapkan kantong logistik wilayah sekaligus dapat membantu kesulitan ekonomi rakyat pada masa kini dan mendatang.
Menyikapi hubungan strategi perang dan lumbung pangan, Sugianto, D. (2020) berpendapat, ketersediaan pangan menjadi bagian penting dalam pertahanan di suatu wilayah. Istilah “kompartemenisasi” patut untuk dipertimbangkan di mana masing-masing wilayah, pulau-pulau besar di Indonesia harus mampu menghadapi invasi dari luar tanpa bergantung dengan pulaupulau lain di sekitarnya.
Ketahanan di bidang logistik suatu wilayah menjadi kunci utama dalam memenangi pertempuran berlarut. Pertempuran yang memakan waktu cukup lama ini akan sangat terbantu apabila mendapat dukungan logistik yang mencukupi untuk personil di wilayah tersebut.
TNI memiliki pengalaman dalam membangun desa Sapta Marga yang sarat dengan tanaman pangan sebagai sumber logistik di wilayah. Budaya disiplin dan kerja keras merupakan kunci keberhasilan TNI membangun desa pangan untuk mewujudkan lumbung pangan yang selanjutnya akan dikelola bersama oleh kekuatan sipil dan militer sebagai cadangan logistik untuk pertahanan negara.
Perang Berlarut
Berangkat dari pemikiran di atas sekaligus untuk mengantisipasi terjadinya perang berlarut maka yang pertama kita perlu lakukan adalah membangun kekuatan ekonomi nasional yang mampu mewujudkan kemampuan logistik nasional. Kekuatan logistik ini bukan hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, tetapi juga mendukung kebutuhan logistik operasional TNI.
Untuk bisa melakukan itu diperlukan adanya revitalisasi terhadap amanat pasal 33 UUD 1945. Kita perlu menata kembali pengendalian Sistem Perekonomian Nasional yang terpusat sekaligus mengatur subsistem produksi dan subsistem distribusi perekonomian nasional.
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya benar-benar harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dalam Indonesia Paradoks (2022) menegaskan perlunya kita secara konsekuen menjalankan perintah UUD 1945 itu.
Dengan langkah ini manfaat yang akan diperoleh adalah terhindarnya distorsi garis logistik dari produksi sampai distribusi kepada rakyat di desa. Dalam skala mikro, bagi TNI kelancaran pasokan logistik akan menjadi sumber kekuatan moril prajurit dalam pertempuran.
Langkah kedua yang perlu dilakukan, menyeimbangkan antara kesiapan dan kemampuan operasional dengan kemandirian dukungan logistik. Dalam teori ilmu militer konvensional, pengiriman logistik itu dilakukan secara linier dari garis belakang ke garis depan atau dalam istilah militer disebut rute perbekalan utama. Dalam perang berlarut yang berdimensi perang gerilya maka logistik dijalankan dengan cara membuat kantong-kantong pangan di setiap wilayah.
Pemikiran strategis Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang tercantum dalam Kebijakan Pertahanan Negara 2021, menata sistem logistik itu dengan membentuk Satuan Produksi dan konstruksi TNI. Satuan ini tersebar di seluruh wilayah Komando Teritorial sebagai kantong logistik wilayah untuk menghindari terputusnya garis logistik operasional.
Di sinilah perlu menyatunya TNI dengan rakyat di dalam membuat lumbung pangan wilayah. Hal ini menjadikan implementasi Peperangan Asimetris yang sejalan dengan prinsip perang rakyat semesta yang dikenal dengan Sishankamrata.
Ujian Berat TNI
Sejak Agresi Militer Belanda sampai ke depan, TNI akan selalu dihadapkan kepada tantangan untuk bisa mengatasi ancaman terhadap eksistensi kedaulatan NKRI. Termasuk menghadapi berbagai pemberontakan di dalam negeri yang memerlukan tindakan militer sesuai hukum yang berlaku.
Misi historis ini menuntut TNI senantiasa siap berbakti kepada negara dan bangsa untuk menjaga keutuhan NKRI berlandaskan Pancasila. Saat ini dan sampai kapan pun jangan sekali-kali berpandangan bahwa NKRI bebas dari ancaman. Kita perlu terus memikirkan strategi asimetris dalam menghadapi peperangan asimetris baik yang berbentuk ancaman militer maupun nirmiliter.
Ancaman tersebut secara parsial dan sporadis sudah timbul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Permasalahan ekonomi terindikasi mulai timbul sebagai bagian dari ancaman dalam peperangan asimetris, karena menyangkut kebutuhan kehidupan dasar rakyat dan juga moril prajurit.
Selama ini struktur organisasi tempur pada satuan-satuan TNI dibangun dan disiapkan untuk beroperasi pada pertempuran bersifat konvensional, tidak dirancang untuk secara khusus mampu beroperasi secara mandiri dalam waktu lama memenuhi logistik sendiri dalam konteks perang berlarut. Dalam Kebijakan Pertahanan Negara, perlu dilakukan penataan ulang pada struktur organisasi satuan tempur TNI.
Sistem Operasi TNI dalam Strategi Pertahanan Negara, sekali lagi memerlukan kehadiran satuan produksi sebagai penopang logistik pasukan dalam menghadapi perang berlarut. Kehadiran satuan produksi, teknologi konstruksi yang mumpuni, serta simulasi latihan yang intens menjadi tantangan TNI di masa mendatang dalam menjalankan perang berlarut di berbagai jenis medan tempur melawan musuh yang cenderung lebih superior.