“Enam puluh tiga tahun yang lalu Panglima Besar Letnan Jenderal Sudirman mengingatkan, prajurit TNI bukanlah prajurit yang mudah dibelokkan haluannya karena tipu dan nafsu kebendaan, tetapi karena keinsyafan jiwanya atas panggilan Ibu Pertiwi dengan sedia membaktikan raga dan jiwanya bagi keluhuran bangsa dan negara”.
( Perintah harian Panglima Besar 5 Oktober 1949 )
Sebagai prajurit dan pejuang TNI, perintah harian 5 Oktober 1949 itu sangat bermakna sebagai rambu dan navigasi dalam mengabdi kepada bangsa dan negara. Sejak seorang prajurit mengawali kehidupan keprajuritan dengan mengucapkan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga, di situ ia berada dalam suatu ikatan moral dan kewajiban profesional yang terus mengalir dalam kualitas kepemimpinan yang ditempa oleh berbagai ujian dan cobaan. Prajurit TNI dituntut untuk membuktikan apakah ia adalah seorang prajurit yang mampu dan sanggup memikul beban atas derajat dan martabat yang diletakkan ke pundaknya sebagai suatu tanggung jawab pengabdian yang sarat bobot kualitas dan integritas.
Seorang prajurit pasti ingat jelas saat memulai basis militer sebagai seorang calon prajurit di mana ia tidak punya hak menerima penghormatan, karena ia belum memiliki kepangkatan apa pun. Sebaliknya ia wajib memberikan penghormatan kepada atasan yang memiliki kepangkatan. Proses ini dijalani oleh prajurit sejalan dengan masa pengabdiannya, yang ibarat naik tangga saatnya penghormatan pun diterima ketika ia sampai pada puncak kariernya sebagai prajurit. Itulah “penghormatan” yang diawali saat mulai karier dan tamat saat purna tugas.
Tantangan, tuntutan, dan godaan justru hadir pada saat seorang prajurit sedang menerima penghormatan. Pada masa itu bisa terjadi seorang prajurit “lupa” dan “celaka” atas sikap dan perilaku dirinya sendiri, seperti yang diingatkan oleh Pak Dirman.
Pengalaman memberikan pelajaran bahwa “lupa” dan “celaka” dapat terjadi pada siapa saja yang diberi atribut kewenangan oleh negara. Hal itu terutama terjadi ketika tidak dilakukan check and balance atas setiap langkah yang diambil, apakah sudah berada pada jalan, rambu, dan navigasi yang tepat secara aturan dan peraturan serta moral.
Di sinilah suatu pertempuran yang harus dimenangkan oleh prajurit agar terhindar dari “kerusakan moral” yang berakibat kepada hilangnya rasa hormat dari bawahan, kolega, atasan, dan bahkan masyarakat atas diri prajurit yang terjebak dalam posisi nadir moral. Di sini pula ukuran “kehormatan” menjadi taruhan yang tidak terhapus sampai menjadi jasad.
Zaman yang sulit
Harus diakui kita hidup di zaman yang sulit, di mana godaan begitu tinggi. Konsumerisme dan konsumtivisme menjadi gaya hidup yang tidak bisa dihindarkan di zaman modern seperti sekarang. Semua orang seakan berlomba ke arah sana, karena menganggap hal itu sarat dengan kenikmatan.
Sebagai bagian dari masyarakat, prajurit TNI tentunya tidak bisa lepas dari godaan itu. Sedikit banyak kehidupan masyarakat luas ikut mempengaruhi juga kehidupan prajurit dan juga keluarganya.
Pengalaman bangsa-bangsa lain, konsumerisme dan konsumtivisme itu diraih melalui proses yang panjang. Mereka telah melewati proses yang menghasilkan sikap disiplin, etos kerja, dan menghormati waktu. Dari sanalah bangsa-bangsa itu kemudian menghasilkan produk dan bahkan produk itu dikembangkan lagi menjadi produk-produk turunan yang semakin beragam.
Hasil dari kerja keras yang dilakukan itulah yang membawa bangsa-bangsa itu ingin menikmatinya. Konsumerisme dan konsumtivisme merupakan ekspresi dari keinginan untuk menikmati hasil kerja keras yang panjang.
Kita pun harus melewati proses yang panjang dan melelahkan itu, agar kemudian bisa menghargai kerja keras yang dilakukan. Konsumerisme dan konsumtivisme jangan hanya sekadar dijadikan gaya hidup, agar tidak menjadi berkelebihan dan bahkan melewati batas-batas kepantasan.
Bagaimana pun gaya hidup modern harus bertumpu kepada jati diri kita sebagai sebuah bangsa. Kita tidak ingin menjadi bagian masyarakat global, tanpa pernah tahu akar budaya dari bangsa ini.
Perintah Harian Panglima Besar Sudirman pada tahun 1949 sudah menangkap pertanda zaman itu. Prajurit TNI diingatkan untuk tidak mudah dibelokkan oleh tipu dan nafsu kebendaan. Dengan berpegang kepada panggilan untuk menjaga keluhuran bangsa dan negara, maka kehormatan prajurit TNI akan bisa dijaga.
Godaan kekuasaan
Satu hal lagi yang senantiasa harus dijaga prajurit TNI adalah godaan kekuasaan. Setiap kali tanggung jawab jabatan datang haruslah diingat bahwa itu bukanlah kesempatan untuk mendapatkan sesuatu, tetapi justru kesempatan untuk memberi kepada negeri.
Godaan kekuasaan merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Semua orang pada suatu masa pasti dihadapkan kepada godaan itu. Pada abad ke-19, Lord Acton bahkan sudah mengingatkan kita semua bahwa: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
Kesadaran diri pribadi menjadi kunci bagi setiap prajurit TNI untuk tidak “lupa” dan “celaka”. Pendidikan prajurit TNI sudah mengingatkan seluruh anggota TNI untuk tidak goyah dalam menjalankan prinsip kehormatan.
Oleh karena itu marilah para prajurit dan pejuang TNI senantiasa menabung kehormatan saat terima penghormatan dengan mawas diri dan waspada dengan harapan kehormatan menjadi bonus abadi di saat penghormatan berakhir pada masanya. Dirgahayu TNI ke-67.