Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menempatkan Indonesia diurutan ke 74 atau peringkat keenam dari bawah. Kemampuan membaca siswa Indonesia di skor 371 berada di posisi 74, kemampuan matematika mendapat 379 berada di posisi 73, dan kemampuan sains dengan skor 396 berada di posisi 71[1]. Programme for International Student Assessment (PISA) ini mengukur kemampuan siswa dalam membaca, matematika, dan sains. Selain literasi baca tulis, indeks literasi digital masyarakat Indonesia juga masih rendah. Berdasarkan studi oleh Microsoft dengan judul Civility, Safety, and Interactions Online – 2020 (Kesopanan, Keamanan, dan Interaksi Daring – 2020) yang menampilkan Digital Civility Index 2020 (Indeks Kesopanan Digital 2020), Indonesia berada pada peringkat ke-29 dari 32 wilayah dan yang paling rendah di kawasan Asia Tenggara. Secara nasional, Indeks literasi digital Indonesia tahun 2021 berada pada level sedang dengan skor 3.49 naik dari 3.46 pada tahun 2020. Skor indeks literasi digital tersebut dihitung berdasarkan penggunaan internet di Indonesia, perilaku pengunaan internet dan akses informasi, kemampuan mengenali hoaks dan profil responden. Kota dengan literasi digital tertinggi yakni Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pasal 7 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 menyebutkan bahwa orangtua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.[2] Keluarga memiliki peran penting dalam peningkatan literasi anak.
Fungsi Keluarga
Presentasi jumlah anak Indonesia mencapai 31,2% yakni mencapai 84,76 juta dari total penduduk Indonesia sejumlah 271,58 juta jiwa (BPS, 2021). Anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. 4,82% anak tidak tinggal dengan kedua orang tuanya, 3,73% balita mendapat pengasuhan tidak layak, 2,67% anak usia dini tidak tinggal bersama ayah dan ibu kandung, 89,03% anak usia dini tinggal bersama ayah dan ibu kandung, 1,27% anak usia dini tinggal bersama ayah kandung saja, 7,04% anak usia dini tinggal bersama ibu kandung saja dan 5 dari 100 anak usia dini yang pernah mendapat pengasuhan tidak layak memiliki ibu yang bekerja (Bahan Paparan Dr. Femmy Eka Putri, M. Psi., Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda, Kemenko PMK).
Relatif rendahnya pemahaman masyarakat mengenai delapan fungsi keluarga yakni 43.2% masih di bawah target capaian dalam renstra 2019 yaitu 50% (SKAP BKKBN, 2019), kondisi ini menunjukkan masih banyaknya persepsi yang keliru mengenai fungsi keluarga yang mengakibatkan pola pengasuhan keliru. Adapun yang dimaksud delapan fungsi keluarga menurut BKKBN diantaranya; Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan; pada fungsi ini maka keluarga merupakan tempat bersosialisasi dengan santun dan berpendidikan. Fungsi Reproduksi; dalam keluarga juga bersepakat anak, jarak kelahiran, dan kesehatan reproduksi. Fungsi Keagamaan; kegiatan dalam keluarga perlu menunjukkan adanya memberi panutan yang baik dalam ibadah dan perilaku kepada anak. Fungsi Sosial Budaya; keluarga menjadi tempat pertama bagi anak belajar menjadi contoh dalam bertutur dan bertindak dengan baik bagi anak. Fungsi Cinta Kasih; memberi cinta kasih kepada anak semaksimal mungkin. Fungsi Perlindungan; menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan hangat dalam keluarga. Fungsi Ekonomi; orangtua bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Fungsi Pembinaan Lingkungan; mengajarkan anak menjaga keharmonisan keluarga maupun lingkungan.
Pengasuhan terhadap anak secara langsung mempengaruhi Sustainable Development Goals yakni pada Goal 4, target 4.2: By 2030, ensure that all girls and boys have access to quality early childhood development, care and pre-primary education so that they are ready for primary education. Reynolds (1975:185) menyatakan bahwa anak yang berhasil di sekolah adalah anak yang berlatar belakang dari keluarga yang berhubungan akrab, penuh kasih sayang, dan menerapkan disiplin dengan kecintaan.[3] Hal ini membuktikan adanya hubungan pola pengasuhan anak dengan prestasi akademik anak. Orang Indonesia saat ini pada umumnya menerapkan tiga pola asuh anak, yaitu otoriter, demokratis dan permisif.[4] Di sisi lain, pola asuh terbaik untuk anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan seoptimal mungkin adalah pola asuh otoritatif.[5] Hubungan emosional yang kuat dalam jangka waktu lama antara orang tua dan anak memberi pengaruh yang signifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak, yakni sebesar 70%, sisanya 30% dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dan masyarakat, sebab anak lebih banyak menghabiskan waktunya bersama keluarga terutama dengan orangtua.[6]
Fungsi keluarga atau family functioning pada prinsipnya mengacu pada kualitas interaksi antar anggota keluarga, yaitu cara mereka bersosialisasi secara positif antar anggota keluarga[7] Interaksi dalam keluarga dewasa ini mengalami penurunan, data menunjukkan 2.831.817 atau 4,62% keluarga terdata tidak memiliki waktu untuk berinteraksi setiap hari, 20.443.604 atau 33,38% keluarga terdata tidak melakukan rekreasi bersama di luar rumah. 10.267.422 atau 15,22% keluarga terdata tidak ikut dalam kegiatan sosial/gotong royong. 2.525.246 atau 5,73% keluarga terdata tidak melakukan pengasuhan anak bersama antara suami dan istri[8]. Hubungan emosional yang kuat dalam jangka waktu lama antara orang tua dan anak memberi pengaruh yang signifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak, yakni sebesar 70 persen, sisanya 30 persen dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dan masyarakat, sebab anak lebih banyak menghabiskan waktunya bersama keluarga terutama dengan orangtua.[9] Interaksi dalam keluarga melemah karena adanya fungsi keluarga yang berkurang. Dulunya, kerja sama anggota keluarga merupakan suatu hal yang penting bagi kelangsungan hidup keluarga, akan tetapi saat ini fungsi anggota keluarga menjadi lebih mandiri. Peningkatan mobilitas anggota keluarga berdampak pada pola komunikasi dengan konsekuensi yang mengikutinya[10].
Peranan orang tua bagi pendidikan anak adalah memberikan dasar pendidikan, sikap dan ketrampilan dasar, seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan, dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang positif. Selain itu, peranan keluarga adalah mengajarkan nilai-nilai dan tingkah laku yang sesuai dengan yang diajarkan di sekolah, sehingga ada kesinambungan antara materi yang diajarkan di rumah dan materi yang diajarkan di sekolah. Pola asuh orang tua juga membantu anak untuk mengetahui posisi dan peranannya sesuai dengan jenis kelamin dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Pola pengasuhan orangtua memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan literasi anak.[11]
Pola pengasuhan dalam keluarga mempengaruhi perkembangan literasi anak. Kemampuan bawaan (perseptual, atensi, dan memori dasar) mengalami perkembangan alami melalui kontak langsung dengan lingkungan selama dua tahun pertama, kehidupan mirip dengan proses eksplorasi dan penemuan. Pada usia 2 hingga 3 tahun, sebagian besar anak adalah pembicara yang terampil; pada usia 6 tahun, mereka telah menguasai sebagian besar aturan gramatikal bahasa mereka dan memiliki kosakata sebanyak sepuluh ribu kata. Vygotsky menekankan bahwa untuk memahami perkembangan anak, perlu memahami situasi sosial yang dibuat oleh orang dewasa untuk mereka. Perkembangan atau masalah potensi genetik/biologis anak yang mengalami metamorfosis budaya, merupakan suatu proses yang tidak dapat berlangsung tanpa orang tua dan guru sebagai orang dewasa yang bijaksana dan berkomitmen dalam kehidupan anak-anak. Dari perspektif sosiokultural, orang tua dan guru adalah pemimpin dalam membangkitkan atau mengembangkan pikiran anak dan mendorong perkembangan potensi anak. Anak-anak membutuhkan interaksi sosial yang positif dan bermakna untuk mengembangkan motivasi intrinstik anak.
Negara, Pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua atau wali berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak. Pengasuhan berbasis hak anak yakni menjamin anak hidup, tumbuh dan berkembang baik fisik, psikis, mental, moral dan sosial serta mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia kedepan, maka perlu peningkatan kualitas hidup anak yang harus dilakukan sejak dini terutama sejak usia 0–3 tahun sampai tumbuh remaja 18 tahun secara berkesinambungan dan integratif yang dimulai dari keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Dari seluruh balita di Indonesia, sebanyak 3,71% balita mendapatkan pengasuhan tidak layak.
Di Australia dan Eropa Barat, pengasuhan anak diatur secara nasional dan didanai secara subsudi untuk memastikan hal itu sesuai dengan standar yang diverifikasi oleh penelitian untuk mendorong pembelajaran anak, kompetensi sosial, dan keamanan emosional. Banyak penelitian mengungkapkan bahwa pengasuhan yang baik, positif dan supportif mendorong perkembangan anak dalam pemecahan masalah, karakter yang kuat dan hubungan sosial yang lebih baik. Disamping itu pada aspek karakter khususnya tata krama dan sopan santun sesuai dengan nilai pancasila juga mengalami degradasi. Berdasarkan data Simfoni PPA 2022, terdapat 541 kasus kekerasan yang terjadi di sekolah. Kasus kekerasan tersebut meliputi kasus perundungan (bulliying), pengeroyokan, perkelahian, pelecehan seksual dan lain lain.
Urgensi Literasi
Membaca dan menulis (literasi dasar) tidak hanya penting untuk kesuksesan dalam upaya akademik dan kehidupan selanjutnya jalan menuju alam pengetahuan yang luas. Setelah anak-anak memiliki modal dasar literasi, mereka dapat mengeksplorasi wawasan dari banyak penulis dan mengambil bagian dalam rangkaian pengalaman mereka yang kaya. Dimensi literasi mencakup dalam enam kategori yakni;
- Literasi baca dan tulis adalah pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah, dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan, mengembangkan pemahaman dan potensi, serta untuk berpartisipasi di lingkungan sosial.
- Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk (a) bisa memperoleh, menginterpretasikan, menggunakan, dan mengomunikasikan berbagai macam angka dan simbol matematika untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari; (b) bisa menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dsb.) untuk mengambil keputusan.
- Literasi sains adalah pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasarkan fakta, memahami karakteristik sains, membangun kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual dan budaya, serta meningkatkan kemauan untuk terlibat dan peduli dalam isu-isu yang terkait sains.
- Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
- Literasi finansial adalah pengetahuan dan kecakapan untuk mengaplikasikan (a) pemahaman tentang konsep dan risiko, (b) keterampilan, dan (c) motivasi dan pemahaman agar dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial untuk meningkatkan kesejahteraan finansial, baik individu maupun sosial, dan dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat.
- Literasi budaya adalah pengetahuan dan kecakapan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Sementara itu, literasi kewargaan adalah pengetahuan dan kecakapan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat.
Menurut pakar literasi, Grover Whitehurst dan Christopher Lonigan, “membaca, menulis, dan bahasa lisan berkembang secara bersamaan dan saling bergantung sejak usia dini, hasil interaksi konteks sosial di mana keaksaraan merupakan komponen, dan tanpa adanya pembelajaran formal. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa perkembangan bahasa di awal masa kanak-kanak sangat terkait dengan kompetensi membaca selanjutnya — dan dengan prestasi akademik secara umum selama sekolah dasar. Anak mengasah literasi ini melalui percakapan dengan orang dewasa, yang menambah informasi, bertanya, dan mendorong anak untuk mengembangkan kemapuan membaca dialogis. Ketika orang tua dan guru menggunakan membaca dialogis secara konsisten dalam rentang waktu tertentu, anak menunjukkan kemajuan dalam perkembangan bahasa, dan mengkonstruksi pengetahuan.
Pengembangan literasi anak dapat ditingkatkan melalui partisipasi orangtua seperti; menyediakan lingkungan yang mengembangkan literasi anak, membangun lingkungan yang mendukung anak agar menyukai kegiatan belajar dan membaca di rumah. Misalnya, penyediaan buku untuk anak di rumah, membangun komunikasi antara orangtua dengan sekolah, membuat kurikulum membaca untuk anaknya di rumah, melibatkan orangtua dalam pengambilan keputusan di sekolah sehingga pendidikan literasi bersinergi dan mengintegrasikan layanan membaca.
[1] https://radioedukasi.kemdikbud.go.id/read/3341/kemendikbudristek-harap-skor-pisa-indonesia-segera-membaik.html#:~:text=%E2%80%9CHasil%20survei%20PISA%202.
[2] https://pmpk.kemdikbud.go.id/assets/docs/UU 2003 No. 20 Sistem Pendidikan Nasional.pdf.
[3] http://digilib.unimed.ac.id/7930/9/10.%20NIM.%201103111039%20CHAPTER%20I.pdf.
[4] https://www.kompasiana.com/endah_wahyu/5bc63c2aab12ae25b039c2e2/mengutip-3-macam-pola-asuh-orang-indonesia-dan-dampaknya.
[5] https://www.kompas.com/sains/read/2021/07/23/193000023/hari-anak-nasional-2021-ahli-ungkap-pola-asuh-terbaik-untuk-tumbuh-kembang?page=all
[6] https://media.neliti.com/media/publications/143900-ID-parenting-di-paud-sebagai-upaya-pendukun.pdf.
[7] Openshaw, K. P. (2011). The relationship between family functioning, family resilience, and quality of life among vocational rehabilitation clients. Utah : Utah State University
[8] Variabel iBangga, 2022.
[9] https://media.neliti.com/media/publications/143900-ID-parenting-di-paud-sebagai-upaya-pendukun.pdf.
[10] Aryadillah. (2018). Komunikasi Antar Pribadi dalam Keluarga (Studi Fenomenologi terhadap Perilaku Komunikasi Pasangan Suami Istri yang Mengalami Ketimpangan Jumlah Pendapatan). Jurnal Cakrawala Vol XVIII No. 1 Maret 2018.
[11] https://jbasic.org/index.php/basicedu/article/view/3460/pdf.