Karakter Perang
Dalam konteks pertahanan dan keamanan nasional, globalisasi dan kemajuan teknologi telah mendorong berkembangnya konsep keamanan yang lebih kompleks dan multidimensional, yang tidak hanya mencakup dimensi militer semata, melainkan juga dimensi yang bersifat non-militer. Karakteristik ancaman juga mengalami perluasan dengan munculnya ancaman non-tradisional yang bersumber dari segala aspek kehidupan mulai dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup dan aspek lainnya, disamping tetap hadirnya ancaman tradisional. Kondisi tersebut memberikan pengaruh terhadap karakter perang yang berkembang saat ini juga mengalami perubahan, sebagaimana dapat dilihat dari mengemukanya konsep Revolution in Military Affairs (RMA), peperangan generasi keempat (fourth generation warfare), dari perang asimetris (asymmetric warfare), yang menjadi bagian integral dalam transformasi pertahanan di banyak negara, dan mempengaruhi berbagai dimensi dalam kehidupan militer, mulai dari kelembagaan/organisasi, teknologi, doktrin dan penggunaan kekuatan.
Negara Republik Indonesia dengan luas wilayah 1.922.570 Km2 , memiliki 17.504 pulau, dihuni oleh lebih dari 300 macam etnik yang memiliki perbedaan agama dan adat istiadat, mengakibatkan Indonesia sangat beresiko menghadapi munculnya bahaya perang generasi keempat (4th generation warfare). Selain itu dengan kondisi politik dalam negeri Indonesia yang penuh tantangan konflik, belum tuntasnya pembongkaran jaringan terorisme dan masih eksisnya separatisme di beberapa daerah, sangat mempengaruhi situasi keamanan Negeri, berpotensi menjadi pendorong meletusnya konflik asimetrik yang dapat dikatakan suatu konflik yang menyimpang dari ukuran normal.
Implikasi Globalisasi.
Globalisasi tidak dapat dipungkiri telah mempengaruhi dinamika masyarakat dunia, mulai dari tingkatan individu hingga kelompok masyarakat yang lebih terstruktur, yaitu negara. Timbul perbedaan dikalangan masyarakat tentang pandangan dan responnya terhadap dampak globalisasi. Sebagian kalangan merespon globalisasi secara cerdas, kreatif dan kritis, namun sebagian kalangan lainnya merespon secara eksklusif atau bahkan menolak secara total. Dari respon ini, dapat dipetakan bahwa pandangan yang berkembang diantara kedua kelompok tersebut adalah yang satu memandang globalisasi sebagai tantangan, dan yang lainnya memandang globalisasi sebagai ancaman. Disatu sisi, globalisasi membawa kemudahan-kemudahan ekonomi yang kemudian membawa kemakmuran bagi banyak masyarakat dunia. Di sisi lain, globalisasi membawa dampak pada meluasnya kesenjangan ekonomi. Bagi kelompok yang memandang negatif atau kontra, globalisasi dipandang telah membentuk sistem “survival of the fittest” yang kemudian melahirkan kelompok Sang Pemenang (The Winner) dan kelompok Sang Pecundang (The Looser) baik ditingkat negara, etnis, kelompok dan individu. Gempuran berlanjut dari Sang Pemenang kepada Sang Pecundang melahirkan Kelompok Sangat Marah (The Angry Entity) yang dapat mengalami polarisasi dan radikalisasi menjadi kejahatan transnasional, separatisme bahkan terorisme.
Tipologi Perang Asimetrik
Seperti telah diungkapkan sebelumnya, dalam perang asimetris, pihak militer tidak hanya berhadapan dengan aktor negara, melainkan juga aktor non-negara, seperti kelompok teroris, separatis, dan kelompok lainnya. Kelompok-kelompok ini memanfaatkan kemajuan teknologi dan globalisasi, untuk melakukan aksinya karena didukung oleh kondisi bahwa mobilitas pemikiran/perintah tidak terhalang oleh batas geografis dan alam. Dalam perang asimetris, kita akan diserang oleh lawan dari berbagai bidang yang meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan militer baik dari luar (internasional) maupun dalam negeri (domestik). Selain bentuk-bentuk ancaman yang sudah ada sebelumnya, seperti separatis, teroris, konflik komunal (SARA), kita juga akan menghadapi bentuk ancaman lain yang lebih halus dan sulit diidentifikasi, yang disebabkan oleh perbedaan politik, keresahan sosial, pengangguran, kelaparan, kemiskinan, kekecewaan dan rasa ketidakadilan yang dieksploitasi oleh lawan. Berdasarkan pola pikir ini, maka analisa terhadap tipologi ancaman yang dihadapi Indonesia dipetakan sebagai berikut:
Matriks Bentuk Ancaman
No | Bidang | Bentuk Ancaman |
1. | Ideologi | Radikalisme Penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa Konflik SARA |
2. | Politik | Anarkisme, Pemberontakan, Kudeta, Serangan terhadap objek vital nasional. |
3. | Ekonomi | Kejahatan keuangan Kejahatan trans nasional Kelangkaan energi Korupsi Pencucian uang |
4. | Sos-Bud | Konflik horizontal dan komunal Penyelundupan (manusia, imigran gelap, senjata/munisi) Bencana alam Bencana non-alam (kegagalan teknologi, kebakaran, dll) Kerusuhan Pengrusakan lingkungan Kemiskinan, kebodohan, korupsi, dll Pandemik |
5. | Militer | Pelanggaran wilayah kedaulatan oleh militer asing, Spionase, Sabotase, Penggunaan senjata kimia, biologi, radioaktif, nuklir, bahan peledak Blokade wilayah Kegiatan militer asing yang melanggar perjanjian, Penggunaan tentara bayaran/kelompok bersenjata untuk kepentingan tertentu di wilayah Separatisme. Pemberontakan bersenjata Terorisme, Pembajakan bersenjata Kriminal bersenjata, Penyanderaan bersenjata |
Dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman tersebut, baik yang bersifat aktual maupun potensial, pada prinsipnya menuntut adanya antisipasi dini, inisiatif dan respon yang proporsional, serta kemampuan lebih/khusus dalam penguasaan metode perang asimetris yang mungkin digunakan oleh pihak lawan, baik menyangkut teknologi, informasi, psikologi, dan lainnya. Untuk dapat berhasil mengatasi ancaman-ancaman tersebut, kolaborasi dan kerja sama, serta pola pikir non-konvensional senantiasa harus dikedepankan. Hal ini diperlukan agar untuk meniadakan asymetric enemy.
Konsepsi menghadapi perang asimetrik
Militer dalam merespon perang asimetrik terdapat empat kecenderungan yang terpola sebagai berikut:
a. Pencapaian mission orders akan cenderung semakin banyak ditentukan oleh aksi organisasi level bawah. Karena itu pengertian akan tujuan dari misi harus dimiliki oleh organisasi level terbawah sehingga mereka merespon perkembangan dengan secepatnya bertindak tanpa harus mengkompromikan mission orders yang lebih besar.
b. Pergeseran unit terkecil harus mampu beroperasi secara mandiri dan tidak bergantung pada logistik terpusat. Setiap unit harus dapat hidup dari sumber daya alam dan sumber daya musuh yang berhasil dikuasai. Disini perlunya kemampuan perorangan yang tinggi.
c. Semakin pentingnya kemampuan manuver, dibandingkan jumlah ataupun firepower, mengingat konsentrasi massa dan firepower justru membuat semakin mudah untuk diserang. Di masa yang akan datang, pasukan yang kecil, berkemampuan manuver yang tinggi, cepat dan lincah akan mendominasi pertempuran, karena perang asimetrik sangat tidak normatif.
d. Kecenderungan untuk menyerang lawan secara internal dengan menghancurkan kekuatan fisiknya. Hal ini bisa dicapai, antara lain dengan menekan basis politik, finansial dan material lawan agar tidak lagi memberikan dukungan pasukan lawan, atau bahkan menekan basis tersebut untuk menghentikan perang.
Keempat kecenderungan ini membuat perang asimetrik akan menjadi perang tanpa bentuk yang jelas. Garis pemisah antara perang dan damai semakin menipis, dengan front non linear, bahkan mungkin tidak ada medan tempur yang dapat didefinisikan dengan jelas.
Garis pemisah antara rakyat sipil dan militer semakin tidak jelas. Perang akan terjadi dalam seluruh dimensi, termasuk pada dimensi kultural, maka perang psikologis menjadi salah satu dimensi yang sangat dominan. Pada level strategi, target peperangan pada generasi ini adalah menyerahnya motivasi pembuat kebijakan dipihak lawan, sehingga kemenangan strategis diperoleh dengan serangkaian serangan terkoordinasi dan simbolik melalui ragam cara untuk menghacurkan infrastruktur ekonomi, sosial budaya dan Politik Negara, yang akan meruntuhkan semangat perlawanan pemimpin Politik Negara.
Strategi menghadapi perang Asimetrik
Dalam perjalanannya sesuai dengan trend yang semakin berkembang dan dinamis dimana perspektif ancaman semakin mengglobal, maka perlu adanya konsep yang bersifat strategis dan inovatif, melalui pengembangan taktik dan tehnik dalam menghadapi perang asimetris tersebut, terutama dengan mengembangkan pengalaman dari beberapa negara yang sudah mengalami perang Asimetrik. Amerika Serikat, misalnya, sebagian diantaranya karena peran global, menjadikan aktor negara seperti Iran, Korea Utara dan Kuba maupun mereka yang memiliki kemampuan cyber seperti China dan Rusia sebagai ancaman asimetrik. Amerika juga masih menganggap kekuatan insurgensi yang sering dihadapinya di daerah “operasi kemanusiaan” seperti Afghanistan dan Iraq merupakan ancaman asimetrik. Sementara itu China dan Rusia menganggap kekuatan domestik, misalnya Tibet dan Chechnya, sebagai ancaman asimetrik.
Di Indonesia, seperti di Barat, peperangan asimetrik diakui sebagai taktik perang kaum lemah melawan pihak yang lebih kuat. Namun berbeda dengan Barat yang condong mencari solusi strategis, Indonesia memilih menafsirkan perang asimetrik sebagai perang modern, yang memerlukan jawaban komprehensif, dan terutama dengan memperkuat pertahanan negara. Sebagian karena konstruksi geostrategis dan historis, solusi Indonesia untuk meredam perang asimetrik adalah strategi kesejahteraan didukung keamanan.
Bagi Indonesia perlu mempertimbangkan beberapa aspek;
a. Pada Skala Nasional Tataran Operasional.
1) Menatata ulang taktik dan teknik perang konvensional, menyesuaikan evolusi taktik bertempur yang semakin berkembang sesuai trend yang paling mutakhir. Selain itu perlu dilakukan pelatihan dan pengembangan kemampuan segenap komponen bangsa dalam menghadapi kemungkinan terjadinya perang asimetrik. Bagi TNI, kehadiran perang asimetris perlu direspon dengan cara melakukan penyesuaian doktrin, sistem dan metoda serta meningkatkan kemampuan dan keterampilan agar lebih profesional dalam menghadapi lawan yang melakukan serangan non-konvensional. Hal ini karena dalam perang asimetris, tidak akan pernah bisa diperkirakan kapan, dengan cara apa, dan dimana, lawan/musuh akan menyerang, serta apa yang akan dijadikan obyek sasaran. Untuk itu, apabila tidak bisa menyesuaikan, maka kita akan selalu terdadak meningkatkan kemampuan.
2) Peran Komando Kewilayahan dalam pemberdayaan wilayah pertahanan. Menjadikan pembinaan teritorial sebagai ujung tombak dalam menghadapi ancaman perang asimetris, Ipoleksosbud dan keamanan atau astra gatra dan memberikan saran kepada Menteri Pertahanan berupa konsep tindakan pada tataran operasional, serta kebijakan pada tataran yang lebih strategis, sehingga ancaman perang asimetris dampaknya dapat segera dieleminir.
3) Tataran kebijakan dan Regulasi; Mereleasasikan produk legislasi yang berkaitan dengan keamanan nasional sebagai arahan strategis untuk merespon permasalahan nasional pada skala luas.
b. Kawasan Regional.
Kerja sama regional adalah satu-satunya modalitas yang feasibel untuk menghadapi peperangan asimetrik. Beberapa ancaman yang disebut diatas telah lama menjadi kecemasan bagi ARF, APEC, East Asian Summit, dan ASEAN. Namun solusi Asia Pasifik masih amat terbatas, titik paling jauh yang dihasilkan adalah CBM (confidence Building measures), Preventive Diplomacy, serta berbagai bentuk kerjsasama untuk peningkatan kapasitas negara (legislasi, kompetensi penegakan hukum, tukar-menukar informasi, coordinated cooperation, community bulding). Untuk itu perlu dipikirkan untuk meningkatkan formula kerjasama di kawasan regional yang lebih menguntungkan dengan Negara-negara tetangga atas dasar saling menghormati, kesetaraan, dan saling menghargai.
Akhirnya dalam era perang asimetrik di abad 21 ini ada kecenderungan Si-lemah tidak perlu takut hadapi Si-kuat sepanjang ada kemampuan untuk mengolah skill-level dan kualitas intelijen serta yang paling utama kemauan keras untuk menang. Tapi yang paling penting sebaiknya kita menjaga jangan sampai timbul asymetric enemy.
Kontekstual pertahanan menghadapi perang asimetrik yang paling efisien dapat dilakukan adalah diplomasi antara pihak yang berhadapan, hal ini lebih produktif daripada tindakan kekerasan yang menggunakan kekuatan militer walaupun diplomasi belum pasti dikehendaki oleh mereka yang sangat fanatik dan fundamentalis.