Berbeda dengan negara-negara lain, Indonesia membangun angkatan perang sambil bertempur dan berperang merebut kemerdekaan. Itulah yang menjadi ciri Tentara Nasional Indonesia yang akan memasuki usia ke-70.
Sejak Generasi 45, TNI menjalankan darma bakti dan pengabdian untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan menjaga negara kebangsaan yang bersendikan Pancasila dan UUD 1945. Memang sejarah perjalanan TNI tidak sempurna. TNI pernah memiliki kekurangan dari sisi kepemimpinan dan manajemen akibat kepentingan pemerintah pada masa itu. Tetapi komitmen dan tanggung jawab TNI terhadap negara tidak pernah surut karena nilai dan semangat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit menjiwai dan terpatri dalam diri setiap prajurit TNI.
Fakta dan konsekuensi sejarah menempatkan TNI sebagai bagian kekuasaaan yang nyaris paripurna di era pemerintahan orde baru selama 32 tahun. Sebaliknya pasca-orde baru TNI mengalami degradasi legitimasi dan kepercayaan rakyat. Pada awal reformasi, TNI pernah berada pada posisi terendah akibat kekecewaan rakyat. Padahal rakyatlah yang sebenarnya menjadi pemilik TNI.
Menyadari kelengahan dan pengalaman pahit tersebut TNI bertekad bangkit dan mengubah sikap dengan menjalani reformasi internal. TNI berkomitmen untuk secara proporsional dan profesional memenuhi ketentuan hukum nasional dan internasional.
Kini legalitas dan legitimasi TNI bertumpu kepada UU TNI Tahun 2004 yang mengatur misi yang harus dlaksanakan TNI. Tugas yang harus dilaksanakan TNI ditetapkan berdasarkan proses politik antara pemerintah dan parlemen, tidak sekadar adanya perintah dari atasan.
Keberadaan TNI dalam prespektif sistem politik nasional merupakan bagian yang sejajar dengan komponen bangsa lainnya, di mana TNI berfungsi sebagai alat pertahanan negara. Sedangkan dalam prespektif militer profesional melekat fungsi militer untuk membangun dan mengembangkan manajemen TNI yang kredibel dan kapabel. Filosofi dan prinsip Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta yang diemban oleh TNI hendaknya dipahami dinamis tidak hanya pada negara dalam keadaan perang, tetapi juga efektif di masa damai. TNI memiliki juga kewajiban mendukung pembangunan dengan aplikasi manajemen pembinaan territorial. Tokoh militer Oerip Sumohardjo mengatakan, “Tentara Indonesia adalah Rakyat Indonesia.” Artinya Indonesia memiliki 250 juta tentara dengan TNI sebagai kekuatan inti.
Insurjensi dan terorisme
Tantangan yang dihadapi TNI ke depan adalah mengantisipasi pola rongrongan insurjensi terhadap negara. Tidak ada jaminan bahwa negara kita bebas dari rongrongan insurjensi. Bahkan tidak ada jaminan negara mampu menghapuskan insurjensi sampai orang terakhir. Apalagi tipologi perang ke depan yang cenderung asimetrik, di mana insurjensi sebagai fondasi dan teror sebagai modus operandi.
Kita perlu mencermati perubahan “strategi adaptasi” sebagai pola insurjensi baru yang memanfaatkan fenomena gesekan politik dan turbulensi ekonomi, sehingga bisa mengakibatkan efek negatif bagi stabilitas multidimensional. Apalagi bagi negara kita yang sedang bekerja keras membangun.
Sebagai alat pertahanan negara TNI perlu melakukan rekonstruksi pola lawan insurjensi tidak hanya menerapkan taktik dan teknik militer murni, tetapi memerlukan revitalisasi yang terintegrasi antara kekuatan militer dan nonmiliter. Saatnya negara memiliki kontijensi nasional menghadapi insurjensi nonmiliter yang tidak dapat ditanggulangi dengan kekuatan militer murni. Kita harus mewaspadai jebakan insurjensi yang menggunakan pancingan pada area taktis, tetapi berakibat negatif pada area politis.
Pada sisi lain realita menunjukkan, di era demokrasi yang penuh keterbukaan ini ada modus operandi terorisme yang eksis dan eskalatif. Bukan tidak mungkin gerakan itu menyentuh sendi kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Kita akui bersama terorisme sebagai modus tindakan kekerasan identik dengan kriminal yang wajib diperangi, tentunya dengan tatanan yang jelas dan tegas pada parameter eskalasi mana yang menjadi tugas TNI dan mana yang menjadi tugas Polri.
Para pendahulu kita sangat cermat dan piawai untuk tidak menyebut asal usul suatu gerakan insurjensi karena sensitif terhadap isu komunal di negara kita yang plural ini. Tidak bisa disangkal wilayah nasional bergeser dari terminal transit menjadi basis wilayah terorisme internasional. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi menaruh harapan agar TNI mampu merevitalisasi manajemen pembinaan teritorial TNI sebagai bagian dari manajemen pembinaan teritorial pemerintah. Tentunya kita memerlukan prajurit yang mau bekerja keras dan cerdas tanpa perhitungan untung rugi pengabdiannya.
Pembangunan militer
Tantangan kedua yang harus dihadapi TNI adalah pembangunan kekuatan militer. Akibat embargo dan krisis ekonomi, TNI pernah berada pada posisi terendah dalam peralatan militer. Bahkan TNI nyaris tidak mampu melaksanakan operasi kemanusiaan di Aceh tahun 2004. Syukurlah rakyat dan pemerintah memberikan perhatian besar dengan secara bertahap memodernisasi peralatan militer selama 10 tahun terakhir.
Pada posisi sekarang, bangsa boleh bangga kepada TNI yang mampu dan kredibel untuk melaksanakan berbagai tugas termasuk pada taraf regional. Apalagi itu didukung oleh kebangkitan industri pertahanan sebagai penopang modernisasi dan kebutuhan peralatan militer.
Hanya saja kita perlu terus membangun kekuatan militer karena kedaulatan negara merupakan “intangible value”. Kekuatan pokok minimal (MEF) yang dibutuhkan, capaiannya belum mencapai 50 persen dari target Renstra 2024. Keterbatasan kemampuan negara membuat pemerintah belum mampu memberikan anggaran di atas 1 persen dari Produk Domestik Bruto. Dari anggaran pertahanan yang disediakan pun, 42 persen habis untuk belanja pegawai.
TNI memahami saat ini masalah kesejahteraan rakyat perlu lebih diutamakan. Namun kita perlu juga memikirkan nasib perwira menengah TNI yang jumlahnya ratusan, tetapi tidak bisa tertampung di dalam organisasi. Diperlukan ada penguatan interaksi antara teknokrat dan TNI untuk mengisi keterampilan dari mereka agar bisa dimanfaatkan di luar tugas kemiliteran.
Di sini diperlukan kerelaan dari prajurit untuk meningkatkan kemampuan vokasional agar mereka bisa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat yang heterogen. Interaksi ini jangan dibaca sebagai agenda kepentingan prajurit, tetapi semata untuk mengembangkan nilai keterampilan non-combat tanpa harus didukung biaya negara. Dengan kedisiplinan yang tinggi, para prajurit ini tentunya akan bisa memberikan kontribusi positif bagi pembangunan ekonomi nasional.
Keamanan Nasional
Tantangan ketiga yang harus bisa dijawab adalah bagaimana TNI menerjemahkan aspek keamanan nasional ke depan. Di era demokrasi, sistem keamanan nasional tidak boleh kendor bahkan perlu dikelola proaktif dan terukur agar stabilitas nasional bisa menopang derap langkah pembangunan.
Ironinya dewasa ini kita tidak memiliki sistem keamanan nasional yang efektif memberikan arahan strategis menghadapi dinamika permasalahan stabilitas nasional yang multidimensional. Pegangan kita saat ini bila ada rongrongan stabilitas adalah UU Nomor 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya, yang regulasi turunannya pernah menjadi rujukan Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban dan Badan Koordinasi Stabilitas Nasional. Kita perlu bijak menyikapi makna perlunya suatu sistem kemanan nasional di era demokrasi.
Kita selalu terjebak kecurigaan bahwa TNI ingin kembali ke panggung kekuasaan ketika berbicara tentang keamanan nasional. Padahal TNI sudah “taat, nyaman, dan aman” di bawah UU TNI yang berlaku sekarang. Marilah kita berpikir terintegrasi antarsesama warga bangsa untuk membangun collective response to protect the country baik pada masa damai dan keadaan darurat.
TNI dapat berdiri tegak sampai 70 tahun pengabdian karena TNI konsisten kepada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Kepercayaan rakyat timbul manakala TNI mengabdi kepada negara dan bangsa ini secara tepat dan benar tanpa agenda politik kepentingan individu. TNI sebagai Tentara Kebangsaan wajib melaksanakan kepercayaan yang diberikan rakyat untuk menjamin keselamatan bangsa dan negara, serta Pancasila dan UUD 1945.